"Pak Ahok Kan kalau di TV atau di YouTube Galak Banget, Aslinya Baik Juga"

Kompas.com/Kurnia Sari Aziza
Plt Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama malam-malam blusukan ke Kanal Banjir Timur, Jumat (11/7/2014). Basuki bertrmu dengan para pedagang kaki lima (PKL) kawasan Cipinang Elok, KBT.

JAKARTA, KOMPAS.com — Malam ini, Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama menyelesaikan aktivitasnya dengan blusukan menemui para pedagang kaki lima (PKL) di sepanjang Kanal Banjir Timur (KBT) pada Jumat (11/7/2014).

Kehadiran Basuki secara tiba-tiba itu mengagetkan sejumlah PKL dan warga di sana. Mereka langsung mendekat dan berebut bersalaman dengannya. Beberapa saat kemudian, Basuki langsung membuka percakapan dan menyampaikan maksud kedatangannya. Begini percakapan antara Basuki dan para PKL KBT, Cipinang Elok, Jakarta Timur, itu. 
Basuki (B): Bapak dan Ibu saya izinkan berdagang di sini, tapi jangan buang sampah sembarangan ya. Bapak Ibu juga harus mau didata oleh Suku Dinas UKM ya. Jadi, saya tahu Bapak Ibu dagang di mana saja. 
 
PKL: Siap! Hidup Pak Gubernur!
 
B: Kalau ada PKL baru yang datang, bantu kami untuk mengusir mereka ya, Bu. Karena kalau terlalu banyak yang berdagang, jadi pada tumpah ke jalan dan membuat macet. Mereka harus dipindah ke tempat lain.
 
PKL: Pak, kalau ada orang mau pindah dan berdagang di sini, boleh tidak, Pak?
 
B: Tidak boleh, Pak. Nanti semua PKL di sini yang sudah terdaftar di Sudin UKM Jakarta Timur akan mendapat kartu. Kalau mau didata dan dapat kartu autodebet Bank DKI, Bapak dan Ibu-ibu harus punya KTP DKI dulu.

B: Jika sudah berdagang bertahun-tahun di sini dan tidak punya KTP DKI, saya buatkan KTP DKI. Dinas Dukcapil nanti bakal mendata. Saya di sini cuma takut sama orang-orang yang ke Jakarta, tapi tidak punya pekerjaan dan buang sampah sembarangan. Itu yang saya tidak mau. 
 
Setelah berinteraksi dengan para PKL, Basuki dengan ramah melayani permintaan pedagang dan warga untuk bersalaman dan berfoto bersama. Mereka tampak senang bertemu dengan pemimpinnya.

Beberapa dari mereka tidak menyangka, Basuki tidak segalak yang mereka pikirkan. "Pak Ahok kan kalau di TV atau di YouTube galak banget. Aslinya baik juga, saya dukung dia jadi gubernur deh," kata Rojak, salah seorang warga Cipinang Elok.

Aksi blusukan Basuki ini berakhir sekitar pukul 19.30 WIB. Adapun pejabat DKI yang turut mendampinginya ialah Wali Kota Jakarta Timur HR Krisdianto dan Kepala Suku Dinas Perhubungan Jakarta Timur Benhard Hutajulu. 

C1 Janggal: Prabowo-Hatta 814 Suara, Jokowi-JK 366, Kok Jumlah Suara Sah 380?

www.kpu.go.idScan formuli C1 TPS 47n Kelapa Dua, Tangerang, Banten, menunjukkan kejanggalan. Pasangan Prabowo Hatta mendapatkan 814 suara, Jokowi-JK 366 suara, tetapi jumlah suara sah 380.

JAKARTA, KOMPAS.com — Sejumlah pindaian atau scan formulir C1 yang diunggah di situs kpu.go.id menampilkan data yang tidak valid. Ada sejumlah kejanggalan, di antaranya, beberapa formulir C1 bahkan menampilkan kolom dengan jumlah suara kosong alias yang tidak terisi.
 
Berdasarkan penelusuran Kompas.com pada situs KPU dengan linkpilpres2014.kpu.go.id, sejumlah formulir C1 dari beberapa daerah ternyata tidak diisi sesuai dengan prosedur, misalnya hasil pindai formulir C1 TPS 47, Kelurahan Kelapa Dua, Kecamatan Kelapa Dua, Kabupaten Tangerang, Banten.
 
Dalam pindaian formulir C1 itu, tercantum perolehan suara calon presiden dan calon wakil presiden Prabowo Subianto-Hatta Rajasa sebanyak 814 suara. Sementara itu, pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla memperoleh suara sebanyak 366 suara. Adapun total suara sah sebanyak 380 suara. Formulir tersebut tidak ditandatangani saksi dari pihak pasangan Jokowi-JK.
 
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden, satu tempat pemungutan suara (TPS) maksimal memfasilitasi 800 orang pemilih.
 
Kejanggalan lain tampak pada hasil pindai formulir C1 TPS 4 Kelurahan Selabatu, Kecamatan Cikole, Kota Sukabumi, Jawa Barat. Formulir C1 TPS tersebut yang ditampilkan di situs KPU tidak mencantumkan perolehan suara masing-masing calon dan total suara sah. Semua kolom pada halaman 4 formulir tersebut kosong. Padahal, formulir sudah ditandatangani anggota Kelompok Penyelenggara Pemilu (KPPS) dan Saksi kedua pasangan calon.
 
Formulir lain yang juga janggal adalah C1 TPS 2 Kelurahan Hargomulyo, Kecamatan Kokap, Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Jumlah total suara yang ditampilkan di formulir tidak sama dengan suara yang diperoleh semua pasangan calon. Pada C1 itu tertera perolehan suara pasangan Prabowo-Hatta adalah 175 suara, Jokowi-JK sebanyak 155 suara. Semantara itu, total perolehan suara sah sebanyak 290 suara.
 
Seperti formulir C1 lainnya yang menampilkan angka yang janggal, formulir C1 itu juga dibubuhi tanda tangan anggota KPPS dan saksi pasangan calon.

Abraham: KPK Tak Perlu Tunduk pada UU MD3

JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Abraham Samad mengatakan bahwa KPK tidak perlu tunduk pada Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3). Dalam melaksanakan kewenangannya, kata Abraham, KPK berpegangan pada Undang-Undang KPK dan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang lex specialis atau aturan bersifat khusus. 

"KPK itu enggak perlu tunduk sama MD3. Walaupun MD3 diberlakukan, KPK tetap tunduk UU Tipikor dan UU yang beri kewenangan KPK di UU KPK. Kita enggak perlu risau," ujar Abraham di Jakarta, Jumat (11/7/2014). 

Dengan demikian, menurut dia, KPK bisa memanggil anggota DPR untuk diperiksa tanpa seizin Mahkamah Kehormatan Dewan. Abraham melanjutkan, KPK justru merisaukan penegak hukum lain, seperti Kepolisian dan Kejaksan yang dianggapnya bisa terhambat formalitas perizinan jika merujuk UU MD3 yang baru. 

Menurut Abraham, UU MD3 yang direvisi ini memperlemah agenda pemberantasan korupsi. Produk Undang-undang ini, kata dia, memperlihatkan bahwa DPR kini tidak memiliki keinginan sungguh-sungguh untuk memberantas tindak pidana korupsi. 

"Karena dia berusaha membuat aturan yang membentengi dirinya sendiri," ujar Abraham. 

Dia pun berpandangan bahwa UU MD3 ini dibuat untuk memberikan kekebalan hukum kepada anggota DPR. Pasal 245 ayat 1 UU MD3 memuat ketentuan bahwa penyidik baik dari Kepolisian, dan Kejaksaan harus mendapatkan izin terlebih dahulu dari Mahkamah Kehormatan Dewan. 

Namun, dalam pasal 245 ayat 3 UU MD3 disebutkan bahwa Kepolisian, Kejaksaan dan KPK tak perlu izin dari Mahkamah Kehormatan Dewan untuk memeriksa anggota DPR jika (a) tertangkap tangan melakukan tindak pidana (b) disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup (c) disangka melakukan tindak pidana khusus. 

Apabila dalam waktu 30 hari sejak permohonan diajukan tak juga keluar surat izin tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan, maka pemanggilan keterangan untuk penyidikan baru bisa dilakukan. Mengenai anggota DPR yang tidak berstatus tersangka, menurut Abraham, KPK tetap bisa memeriksanya. KPK juga bisa menjemput paksa anggota DPR yang tiga kali mangkir ketika dipanggil sebagai saksi. 

"Kalau saksi sudah tiga kali enggak hadir, kita bisa angkut paksa datang ke KPK, dijemput untuk diperiksa, habis diperiksa dipulangi," tuturnya.

Dasar Pengaduan "Mandul", Menpera Tak Bisa Pidanakan Pengembang

JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Perumahan Rakyat (Menpera) Djan Faridz dinilai tidak dapat memidanakan pengembang yang dianggap melanggar ketentuan hunian berimbang. Pelaporan oleh Menpera berdasarkan UU No 1/2011 (UU PKP) dan Permenpera No 7 Tahun 2013 tersebut tidak dapat dijadikan dasar pengaduan pelanggaran alias mandul.

"Pertanyaannya, validkah landasan hukum Menpera melaporkan pelanggaran hunian berimbang ke kejaksaan dan kepolisian itu, bahwa seakan-akan itu perbuatan kriminal," ujar Muhammad Joni, praktisi hukum dan Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI) pada diskusi "Menyoal Kriminalisasi Hunian Berimbang" yang digelar The Hud Institute di Jakarta, Jumat (11/7/2014). 

Joni mengatakan, jika ditelaah dan dikritis secara obyektif, maksud asli (original intent) skema hunian berimbang dalam UU PKP adalah untuk membantu pemerintah dalam menyediakan rumah untuk kelompok masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dan mengatasi defisit perumahan atau backlog.

Dia menambahkan, bahwa kewajiban konstitusional atas hak bertempat tinggal adalah kewajiban negara yang diamanatkan Pasal 28 ayat (1) UUD 1945. Di situ tercantum jelas, bahwa negara berkewajiban memenuhi hak bertempat tinggal, yang kemudian dirumuskan menjadi hak bermukim. Hak bermukim mengandung anasir kepentingan publik yang wajib menghadirkan peran, tanggung jawab, wewenang dan kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah.

"Kalau mau dilihat lagi, pasal 16, 17, 18 UU PKP memberikan wewenang kepada Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk melaksanakan kewajiban dan tanggung jawab di atas, yaitu merumahkan rakyat. Jadi jelas, bahwa wewenang, kewajiban, dan tanggung jawab merumahkan rakyat berada pada Pemerintah dan Pemda, bukan pada swasta atau pengembang. Karena swasta tidak diberikan wewenang dan tanggung jawab oleh UU PKP seperti halnya Pemerintah dan Pemda," kata Joni. 

Menanggapi pendapat Joni, mantan Menteri Perumahan Rakyat, Suharso Monoarfa, menyatakan sependapat bahwa secara undang-undang upaya Menpera Djan Faridz menuntut pengembang sangat tidak kuat dan berdasar. Seperti diketahui, Menpera Djan Faridz mengadukan 191 pengembang dari 57 kelompok usaha ke Kepolisian Republik Indonesia, Rabu (18/6/2014) lalu. 

"Kalau secara undang-undang jelas tidak bisa. Yang diatur dalam pidana itu kan tindakan penipuan dan pembohongan konsumen. Nah, kalau kedua hal itu memang diatur dalam UU No 1 tahun 2011," ujar Suharso. 

"Begini, UU itu harus diterjemahkan dulu karena masih terlalu luas cakupannya. Seharusnya Pemerintah menerbitkan PP-nya dulu," tambahnya.